Selasa, 05 Januari 2016

Buaya di Indonesia, Ciri dan Macam Jenisnya

Indonesia memiliki 7 (tujuh) spesies (jenis) buaya dari seluruh spesies buaya yang ada di dunia. Macam spesies (jenis) buaya di Indonesia antara lain buaya muara (Crocodylus porosus), buaya siam atau buaya air tawar (Crocodylus siamensis), buaya irian (Crocodylus novaeguineae), buaya kalimantan (Crocodylus raninus), buaya mindoro (Crocodylus mindorensis), buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), dan buaya sahul (Crocodylus novaeguineae).
Buaya merupakan nama Indonesia untuk menyebut berbagai jenis reptil dari famili (suku) Crocodylidae. Selain disebut buaya, reptil ini juga dikenal dengan nama yang berbeda di beberapa daerah di Indonesia seperti buhaya (Sunda dan Banjar), baya atau bajul (Jawa),bekikok (Betawi), bekatak, atau buaya katak (buaya bertubuh kecil gemuk), senyulong,buaya jolong-jolong (Melayu). Dalam bahasa Inggris buaya disebut crocodile.
Buaya merupakan hewan purba yang hanya mengalami sedikit perubahan evolusi semenjak zaman dinosaurus. Boleh dikatakan, buaya yang ada saat ini dengan yang ada pada zaman dinosaurus dulu relatif tidak berubah.
Mengenal Ciri Buaya. Berbagai macam jenis (spesies) buaya termasuk spesies buaya di Indonesia memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Pada umumnya buaya mempunyai habitat di perairan air tawar seperti danau, rawa dan sungai, namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara.
Buaya merupakan pemangsa penyergap yang menunggu mangsanya mendekat lalu menerkamnya tiba-tiba. Mangsa buaya meliputi ikan, burung, dan beberapa mamalia.
Selain mampu bergerak dengan cepat dan tiba-tiba buaya mempunyai kemampuan mencengkeram yang kuat pada rahang mulutnya. Tekanan gigitan rahang buaya dipercaya sebagai yang terkuat. Tetapi anehnya, otot-otot yang berfungsi untuk membuka mulut buaya sangat lemah. Buaya terbukti tidak mampu membuka mulutnya dari lakban yang dililitkan beberapa kali saja.
Mengenal Macam Jenis Buaya Indonesia. Buaya di Indonesia terdiri atas 7 jenis. Jenis (spesies) tersebut antara lain:
  • Buaya muara (Crocodylus porosus)
Buaya muara jenis yang paling sering ditemukan di Indonesia
Buaya muara merupakan spesies buaya yang terbesar, terpanjang dan terganas di antara jenis-jenis buaya lainnya di dunia. Buaya muara juga memiliki habitat persebaran yang sangat luas, bahkan terluas dibandingkan spesies buaya lainnya. Buaya muara dapat ditemukan mulai dari Teluk Benggala (India, Sri Langka, dan Bangladesh) hingga Kepulauan Fiji. Indonesia menjadi habitat terfavorit bagi buaya muara selain Australia.
  • Buaya siam atau buaya air tawar (Crocodylus siamensis)
Buaya siam, masuk daftar Critically Endangered (Kritis)
Buaya Siam diperkirakan berasal dari Siam. Buaya siam selain di Indonesia dapat dijumpai pula di Thailand, Vietnam, Malaysia, Laos, dan Kamboja. Di Indonesia, buaya siam hanya terdapat di Jawa dan Kalimantan.
  • Buaya irian (Crocodylus novaeguineae)
Buaya irian hanya terdapat di pulau Irian (Indonesia dan Papua Nugini). Bentuk tubuh buaya yang hidup di air tawar ini menyerupai buaya muara hanya berukuran lebih kecil dan berwarna lebih hitam.
  • Buaya kalimantan (Crocodylus raninus)
Buaya kalimantan mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan buaya muara. Lantaran itu buaya yang hanya dapat ditemui di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ini statusnya masih menjadi perdebatan para ahli.
  • Buaya mindoro (Crocodylus mindorensis)
Buaya mindoro, Critically Endangered
Buaya mindoro semula termasuk anak jenis (subspesies) dari buaya irian (Crocodylus novaeguineae) tapi kini buaya ini di anggap sebagai jenis tersendiri. Buaya mindoro di Indonesia dapat ditemukan di Sulawesi bagian timur dan tenggara.
  • Buaya senyulong (Tomistoma schlegelii)
Buaya senyulong, mulutnya lebih sempit
Buaya senyulong tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Yang membedakan buaya senyulong dengan jenis buaya lainnya adalah moncongnya yang relatif sempit.
  • Buaya sahul (Crocodylus novaeguineae)
Buaya sahul sebenarnya sama atau masih dianggap satu jenis dengan buaya irian. Namun oleh beberapa ahli taksonomi buaya sahul yang hanya tersebar di Papua bagian selatan ini diusulkan untuk menjadi spesies tersendiri.
Konservasi Buaya. Empat jenis buaya yang ada di Indonesia, yakni buaya irian (Crocodylus novaeguineae), buaya muara (C. porosus), buaya siam (C. siamensis), dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Buaya siam dan buaya mindoro merupakan buaya yang mulai langka dan dimasukkan dalam status konservasi Critically Endangered (Critis) oleh IUCN Redlist. Buaya senyulong dimasukkan dalam status konservasi Terancam Punah (Endangered). Sedangkan spesies buaya lainnya seperti buaya muara dan buaya irian didaftar dalam status konservasi berisiko rendah (Least Concern).

Perbedaan Kura-Kura, Penyu, dan Bulus

Apa perbedaan antara kura-kura, penyu, dan bulus? Ataukah kura-kura, penyu dan bulus adalah sama? Itulah pertanyaan yang pernah Alamendah’s Blog dengar. Bahkan, tidak sedikit diantara kita yang menanyakan hal yang sama; perbedaan dan persamaan kura-kura, penyu, dan bulus?
Antara kura-kura, penyu, dan bulus (termasuk labi-labi) bisa sama namun bisa jadi berbeda. Lho?
Kura-kura atau dalam bahasa Inggris disebut Turtle, bisa merujuk pada sekelompok hewan yang terkumpul dalam ordo Testudines, baik yang hidup di darat, laut, maupun di air tawar. Kura-kura adalah reptil berkaki empat dengan ciri khas adanya batok keras dan kaku. Batok ini terdiri atas karapas (bagian punggung) dan plastron (bagian perut). Jadi secara umum, semua kelompok reptil ini, baik kura-kura darat, penyu, bulus, maupun labi-labi dapat disebut kura-kura.

Perbedaan Kura-Kura, Bulus, dan Penyu

Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta)
Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta) Gbr. wikipedia
Namun antara ketiganya, dapat juga berbeda satu sama lain. Ordo Testudines, di Indonesia sering kali dibagi dalam tiga kelompok yaitu kura-kura (tortoises), penyu (sea turtles), dan bulus atau labi-labi (freshwater turtles). Dalam bahasa Inggris, kura-kura masih dibedakan lagi menjadi kura-kura darat (land tortoises) dan kura-kura air tawar (freshwater tortoises atau terrapins).
Perbedaan paling ketara antara ketiganya adalah dilihat dari habitat atau tempat hidupnya. Perbedaan secara umum antara kura-kura, penyu, dan bulus berdasarkan habitatnya, yaitu :
  • Kura-kura, meskipun dapat hidup di darat dan di air tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya di darat ketimbang di air tawar.
  • Penyu, sepenuhnya hidup di air laut dan hanya penyu betina saja yang beberapa tahun sekali ke daratan (pantai) untuk bertelur. Karena itu, penyu kerap disebut juga sebagai kura-kura laut.
  • Bulus atau labi-labi, kebalikan dari kura-kura, lebih banyak menghabiskan waktunya di air tawar ketimbang di darat.
Kura-kura Rote
Kura-kura Rote
Berdasarkan struktur tubuh, antara kura-kura, penyu, dan bulus dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri umum, meliputi :
  • Karapas. Kura-kura memiliki karapas dua lapis, lapisan luar terdiri dari kumpulan sisik yang keras dan lapisan dalam yang berupa lempeng-lempeng tulang yang tersusun rapat. Penyu tidak memiliki sisik pada karapas melainkan sejenis kulit. Sedangkan labi-labi (bulus) karapsnya tersusun dari tulang rawan yang lebih lunak dibanding karapas kura-kura dan penyu.
  • Kaki. Kaki kura-kura didesain untuk berjalan di darat sehingga memiliki kuku-kuku yang tajam. Sedangkan pada penyu dan bulus, bentuk kakinya menyerupai sirip yang membantunya berenang di air.
Penyu Abu abu (Lepidochelys olivacea)
Penyu Abu abu (Lepidochelys olivacea)
Penyebutan kura-kura, penyu dan bulus dengan beberapa perbedaannya tersebut hanya untuk mempermudah diskripsi bagi masyarakat umum. Sedangkan untuk keperluan ilmiah, perbedaannya tentunya didasarkan pada klasifikasi ilmiah berupa jenjang famili, genus, dan spesies. Berdasarkan klasifikasi ilmiah, kura-kura (ordo Testunides) dibedakan dalam 14 famili yaitu :
  1. Carettochelyidae
  2. Chelida
  3. Cheloniida
  4. Chelydrida;
  5. Dermatemydida;
  6. Dermochelyidae
  7. Emydidae
  8. Geoemydidae
  9. Kinosternidae
  10. Pelomedusidae
  11. Platysternidae
  12. Podocnemididae
  13. Testudinidae
  14. Trionychidae

Viper Pohon Hijau (Cryptelytrops albolabris) Si Ular Bangkai Laut

Viper Pohon Hijau, Viper Hijau atau dikenal juga sebagai Ular Bangkai Laut (Trimeresurus albolabris) merupakan salah satu spesies ular berbisa yang hidup di Indonesia. Ular dari famili Viperidae memiliki bisa (venom) yang cukup kuat meskipun tidak mematikan bagi manusia. Viper Pohon Hijau merupakan reptil dan hewan asli Indonesia.
Di Indoneia dikenal sebagai ular Viper Pohon Hijau, Viper Hijau, Ular Bangkai Laut, Ular Hijau Ekor Merah, ataupun Ular Hijau. Meski penyebutan yang terakhir akan rancu dengan beberapa jenis lain yang kerap juga disebut sebagai ular hijau. Memiliki beberapa nama lokal seperti oray bungka, oray majapait (Sunda), ula bangka-laut atau ula gadung luwuk (Jawa), dan ulah sanggit (Lombok). Dalam bahasa Inggris disebut White-lipped Pitviper, White-lipped Tree Viper, atau Bamboo Pit-viper.
Nama latin hewan berbisa ini adalah Trimeresurus albolabris Gray, 1842. Memiliki beberapa nama sinonim seperti: Bothrops erythrurus Lidth De Jeude, 1890; Coluber gramineus Raffles, 1822; Cryptelytrops albolabris Malhotra & Thorpe, 2004; Lachesis gramineus Boulenger, 1896; Lachesis gramineus Mell, 1922; Lachesis grammineus (sic) Brongersma, 1929; Trigonocephalus gramineus Cantor, 1847; Trigonocephalus viridisMüller & Schlegel, 1842; Trimeresurus albolabris David Et Al., 2011; Trimeresurus gramineus Boulenger, 1890; Trimeresurus gramineus Mell, 1929; dan Trimesurus albolabris Gray, 1842.
Ular Bangkai Laut (Trimeresurus albolabris)
Ular Bangkai Laut atau Viper Pohon Hijau (Trimeresurus albolabris).Gambar: W.A. Djatmiko / commons.wikimedia.org
Ular Bangkai Laut atau Viper Pohon Hijau berukuran sedang dengan panjang tubuh maksimal mencapai 72 cm (jantan) dan 94 cm (betina). Ciri khas jenis ular viver (bandotan) asli Indonesia ini adalah adanya coretan memanjang berwarna merah di bagian ekornya sepanjang antara 10-13 cm sehingga kerap dipanggil juga sebagai Ular Hijau Ekor Merah. Pun memiliki bibir berwarna keputihan atau kekuningan yang menjadikannya dinamai “albolabris” (albus berarti putih dan labrum berarti bibir) atau white-lipped tree viper dan white-lipped pit-viper. Dan layaknya berbagai jenis ular bandotan lainnya, memiliki kepala segitiga.
Kepala dan dorsal (bagian atas tubuh) berwarna hijau daun dengan belang-belang putih dan hitam pada kulit di bawah sisik tubuh bagian depan yang hanya terlihat saat merasa terancam. Bagian ventral (sisi bawah tubuh) berwarna kuning terang hingga kuning pucata atau kehijauan.
Merupakan hewan arboreal (banyak beraktifitas di atas pohon) dan hewan nokturnal (aktif di malam hari). Gerakannya kurang lincah meskipun saat terancam dapat bergerak cepat dan gesit. Kerap dijumpai berdiam di antara daun-daun dan ranting semak dan pohon kecil dengan ketinggian hingga 3 meter di atas tanah.
Ular Bangkai Laut (Trimeresurus albolabris)
Ular Bangkai Laut atau Viper Pohon Hijau (Trimeresurus albolabris). Gambar: Thomas Brown / commons.wikimedia.org
Makanan utama Ular Bangkai Laut atau Viper Pohon Hijau adalah kodok dan katak, burung, kadal, dan mamalia kecil. Berkembang biak secara ovovivivar (bertelur-melahirkan) yakni telurnya menetas saat masih dalam tubuh betinanya sehingga keluar sudah sebagai anak-anak ular. Dalam satu masa persalinan mampu melahirkan hingga 25 ekor anak.
Meski gerakannya lambat namun dapat sangat agresif jika merasa terancam. Bahkan termasuk ular yang mudah merasa terganggu dan kerap menggigit manusia. Bisanya tidak mematikan namun cukup berbahaya dan dapat berakibat vatal. Bisanya bersifat hemotoksin yang menyerang sistem peredaran darah. Gigitan Ular Viver Pohon Hijau pada manusia menimbulkan rasa sakit yang hebat dan kerusakan jaringan di sekitar luka gigitan. Awalnya daerah sekitar gigitan membengkak dan berwarna merah gelap, disusul dengan rasa kaku dan nyeri yang terasa hingga pada persendian-persendian yang terdapat antara luka dan jantung. Jika tidak ditangani dengan baik hingga beberapa hari, dapat mengakibatkan kematian, meskipun jarang sekali terjadi.
Ular Bangkai Laut (Trimeresurus albolabris)
Ular Bangkai Laut atau Viper Pohon Hijau (Trimeresurus albolabris). Gambar: W.A. Djatmiko / commons.wikimedia.org
Mendiami daerah hutan hujan tropis hingga perkembunan, sawah, dan di sekitar pemukiman penduduk pada daerah dataran rendah. Daerah sebarannya meliputi China, Hongkong, Kamboja, Indonesia (Jawa dan Sumatera), Laos, Makau, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.
Populasi Ular Bangkai Laut (Trimeresurus albolabris) diyakini tidak termasuk reptil langka dan terancam kepunahan. Karena itu oelh IUCN Red List didaftar sebagai spesies Least Concern sejak 2010. Di Indonesia tidak termasuk hewan yang dilindungi.
Klasifikasi Ilmiah Ular Bangkai Laut. Kerajaan : Animalia. Filum : Chordata. Kelas : Reptilia. Ordo : Squamata. Famili : Viperidae. Genus : Trimeresurus. Spesies :Trimeresurus albolabris Gray, 1842.

Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum) yang Langka

Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum) kerap disebut juga sebagai Anggrek Paphiopedilum Jawa (Java Paphiopedilum). Anggrek spesies asli Indonesia yang terbatas hidup di Jawa, Bali, Flores, dan sebagian Sumatera ini merupakan salah satuanggrek langka. Oleh IUCN Red List dikategorikan sebagai spesies Endangered (Terancam) dan Oleh CITES (bersama seluruh anggota genus Paphiopedilum) didaftar dalam Appendiks I.
Anggrek ini dikenal dengan nama Anggrek Kasut Hijau atau Paphiopedilum Jawa. Dalam bahasa Inggris biasa dinamai sebagai Java Paphiopedilum. Nama latin tumbuhan ini adalahPaphiopedilum javanicum (Reinw. ex Lindl.) Pfitzer yang memiliki beberapa nama sinonim seperti Cordula javanica (Reinw. ex Lindl.) Rolfe; Cypripedium javanicum Reinw. ex Lindl.; Cypripedium javanicum Reinw. ex Blume; Paphiopedilum javanicum var.javanicumPaphiopedilum javanicum f. nymphenburgianum (Roeth & O.Gruss) P.J.Cribb; dan Paphiopedilum javanicum var. nymphenburgianum Roeth & O.Gruss.
Penampilan jenis anggrek ini layaknya kerabatnya dari anggota genus Paphiopedilum sp. Akarnya berupa akar serabut yang berbentuk gilik (bulat panjang) dan tumpul dengan warna coklat muda, memiliki bulu-bulu halus. Batangnya gilik, sangat pendek, beruas, dan bagian akar aerial tertutup upih daun.
Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum)
Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum). Gambar:commons.wikimedia.org
Daun Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum) berbentuk lanset dengan permukaan bagian atas berwarna hijau muda dengan bercak hijau tua, sedang bagian bawah berwarna hijau mengkilat. Tulang daun sejajar, ujung daun menumpul, dan tepi daun rata.
Bunga memiliki tangkai bunga berwarna cokelat tua sepanjang 25 cm. Sepal dorsal bunga (kelopak bunga bagian atas) bulat telur, berukuran 2,3 x 3,5 cm, berwarna cokelat tua dengan garis vertikal berwarna hijau tua, berujung tumpul, dengan permukaan mengkilat. Sepal lateral bunga (kelopak bunga bagian samping) berbentuk bulat telur, berwarna hijau, dengan pertulangan sejajar, dan ujung tumpul. Petal (mahkota bunga) anggrek berwarna hijau muda bercampur cokelat, dengan ujung tumpul, dan bagian tepinya berbintik-bintik cokelat. Labellum (bibir) berbentuk kantung sepanjang 2,4 cm, berwarna hijau bercampur cokelat, dengan kedalaman kantung sekitar 2 cm.
Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum) merupakan anggrek terestrial (tumbuh di tanah). Biasa ditemukan tumbuh di daerah berhumus di celah-celah antara batu-batu di tempat teduh, di sekitar sungai, hingga tebing batu. Ditemukan hidup daerah berketinggian antara 900 – 2.100 meter dpl. Daerah sebaran tumbuhan endemik Indonesia ini meliputi Sumatera Barat, Jawa, Bali, dan Flores.
Anggrek endemik dan asli Indonesia ini menjadi salah satu anggrek langka di Indonesia. Populasinya diyakini telah berkurang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan beberapa sub-populasi sudah hilang. Penurunan populasi ini diakibatkan oleh perburuan untuk diperdagangkan menjadi tanaman hias baik di skala regional maupun internasional, serta karena kerusakan hutan dan habitat.
Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum)
Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum). Gambar: orchids.wikia.com
Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum)
Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum). Gambar: orchids.wikia.com
Karena populasinya yang langka dan terancam punah, IUCN Red List (Daftar Merah IUCN) memasukkan Anggrek Kasut Hijau (Paphiopedilum javanicum) sebagai spesies dengan status konservasi Endangered (Terancam) sejak tahun 1998. Sedangkan CITESpun memasukkannya (bersama seluruh anggota genus Paphiopedilum) dalam Appendiks I yang berarti tidak boleh diperdagangkan secara Internasional. Sayangnya, meski langka dan telah terdaftar sebagai Apendiks I CITES dan spesies Endangered dalam Daftar Merah IUCN, Anggrek Kasut Hijau luput dari daftar anggrek yang dilindungi.
Klasifikasi ilmiah Anggrek Kasut Hijau. Kerajaan: Plantae. Divisi: Magnoliophyta. Kelas: Liliopsida. Ordo: Asparagales. Famili: Orchidaceae. Genus: Paphiopedilum. Spesies:Paphiopedilum javanicum (Reinw. ex Lindl.) Pfitzer.

Saka Kalpataru Pramuka Peduli Lingkungan

Saka Kalpataru adalah salah satu Satuan Karya Pramuka di Gerakan Pramuka yang khusus bergerak dalam bidang cinta lingkungan hidup. Saka yang dibentuk atas kerjasama antara Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dengan Kementerian Lingkungan Hidup ini menekankan pada isu lingkungan, pengelolaan sampah, perubahan iklim dan konservasi keanekaragaman hayati. Tujuan akhir Saka Kalpataru adalah membentuk generasi muda yang ramah pada lingkungan hidup.
Saka Kalpataru dibentuk atas kerjasama antara Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dengan Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Kerjasama ini disyahkan dalam Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Kupang Nusa Tenggara Timur melalui Surat Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka nomor : 13/Munas/2013 pada tanggal 5 Desember 2013.
Satuan Karya Pramuka atau disingkat saka merupakan terobosan Gerakan Pramuka dalam menyediakan wadah bagi anggota pramuka usia 16-25 tahun (Penegak dan Pandega) dalam mendalami bidang ketrampilan tertentu. Selain Saka Kalpataru yang khusus di bidang peduli lingkungan juga terdapat 10 saka lain seperti Saka Bahari (bidang kelautan), Saka Dirgantara, Saka Bhayangkara (bidang ketertiban masyarakat), Saka Taruna Bumi (bidang pembangunan pertanian), Saka Wanabakti (bidang kelestarian SDA dan hutan), Saka Pariwisata, Saka Wira Kartika (bidang bela negara) dan lain-lain. Tentang Saka Wanabakti, baca : Saka Wanabakti Pramuka Cinta Hutan.
Kalpataru sendiri diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti pohon kehidupan (kalpawreksa). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kalpataru mempunyai arti, yang salah satunya, pohon lambang kehidupan yangg menggambarkan pengharapan; pohon penghidupan. Sebelumnya, kalpataru, telah digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai nama penghargaan kepada orang dan kelompok yang berjasa dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia. (Baca : Penerima Penghargaan Kalpataru)
Satuan Karya Pramuka Kalpataru merupakan tindak lanjut dari kesepakatan bersama antara Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang ditandatangani pada tanggal 20 November 2011. Kesepakatan itu menjadi implementasi dari Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, serta Undang-undang nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
Setelah pada tahun 2012 diujicobakan pada beberapa wilayah, akhirnya Gerakan Pramuka menetapkan saka peduli lingkungan hidup ini sebagai Satuan Karya Pramuka Tingkat Nasional. Keputusan tersebut ditetapkan dalam forum tertinggi di Gerakan Pramuka, Musyawarah Nasional, Kupang, NTT melalui SK Munas Gerakan Pramuka No: 13/Munas/2013 pada tanggal 5 Desember 2013.
Lambang Saka Kalpataru
Lambang Saka Kalpataru
Dengan Saka Kalpataru ini diharapkan mampu membentuk generasi muda yang ramah lingkungan. Para anggota Saka Kalpataru yang merupakan pramuka golongan Penegak dan Pandega (usia 16-25 tahun) akan diberikan bekal pengetahuan dan keterampilan khusus terkait isu lingkungan, pengelolaan sampah, perubahan iklim dan konservasi keanekaragaman hayati. Tentunya di samping keterampilan dan pengetahuan tentang kepramukaan pada umumnya.
Sebagaimana layaknya Satuan Karya Pramuka lainnya, para anggota akan dikelompokkan dalam krida-krida yang mengkhususkan pada materi tertentu. Setiap Krida memiliki Syarat Kecakapan Khusus (SKK) untuk memperoleh Tanda Kecakapan Khusus Kelompok Kesatuan karyaan. Krida dan  SKK dalam Saka Kalpataru terdiri atas :
  1. Krida 3R (Reuse, Reduce, Recycle) dengan tiga SKK yaitu SKK Komposting, SKK Daur Ulang dan SKK Bank Sampah.
  2. Krida Perubahan Iklim dengan tiga SKK yaitu SKK Hemat Air, SKK Hemat Energi Listrik dan SKK Transportasi Hijau.
  3. Krida Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan tiga SKK yaitu SKK Pelestarian Sumber Daya Genetik, SKK Pelestarian Ekosistem dan SKK Jasa Lingkungan.
Menindaklanjuti keberadaan Saka Kalpataru, 30 April 2014 silam, Ketua Kwartir Nasional, Adyaksa Dault, telah melantik Majelis Pembimbing (Mabisaka) dan Pimpinan Saka Kalapatu (Pinsaka) Tingkat Nasional Masa Bhakti 2014-2019. Mabisaka dan Pinsaka Kalpataru itu terdiri dari untur-unsur Kementerian Lingkungan Hidup. Kwarnas Gerakan Pramuka, Lembaga Swadaya Masyarakat, pelaku bisnis yang memiliki kepedulian dan mendukung pengembangan Saka Kalpataru. Ketua Mabisaka Kalpataru dijabat langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar kambuaya, MBA. Sedangkan Ketua Umum Pinsaka Kalpataru dijabat oleh Asdep Peningkatan Peran Organisasi Kemasyarakatan Deputi VI dengan Ketua Harian Jo Kumala Dewi, Kabid Organisasi Profesi dan Dunia Usaha Kementerian Lingkungan Hidup.
Menilik tujuan dan kegiatan dalam Saka Kalpataru, semoga Satuan Karya Pramuka terbaru ini mampu menarik minat para pemuda untuk lebih peduli pada lingkungan hidup.

Pantai Terindah di Sulawesi Tengah

Pantai Talise, Palu

Pantai Talise adalah pantai terindah dan obyek wisata andalan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pantai ini berada di ujung Teluk Palu. Membentang mulai dari Kota Palu hingga wilayah Kabupaten Donggala. Pantai Talise sangat memesona dengan hamparan pegunungan yang indah di kanan kiri teluk.
Pantai Talise, Palu
Pantai Talise, Palu
Saat sore hari, pantai ini biasanya ramai dikunjungi wisatawan. Baik wisatawan lokal (dari Sulawesi Tengah dan daerah lain di Indonesia) hingga dari luar negeri. Mereka semangat untuk melihat detik-detik sunset (terbenamnya matahari kala sore hari). Saat malam tiba, bukan berarti aktivitas terhenti, berbagai jenis makanan yang dijajakan di sepanjang pantai siap memanjakan para wisatawan.
Suasana Pantai Talise semakin semarak saat liburan tiba. Ratusan pengunjung berdesakan hanya untuk menikmati hangatnya air laut, sambil menyaksikan indahnya terumbu karang dan ikan hias yang dapat disaksikan langsung di bawah permukaan laut.
Pantai Talise sungguh indah dan sangat istimewa. Panoramanya yang indah sangat cocok untuk melakukan berbagai kegiatan air yang menyenangkan seperti berselancar (surfing), ski air, menyelam (diving), hingga sekedar berenang atau memancing.
Jika hendak mencari hiburan yang lain, selepas dari Pantai Talise, Sobat bisa mengunjungi Pantai Taman Ria. Jaraknya tidak jauh, dari Pantai Talise hanya sekitar 3 km ke arah barat. Di Pantai Taman Ria ini selain dapat menikmati keindahan alam pun dapat menjajal aneka kuliner khas Sulawesi Tengah.
Akses ke Pantai Talise yang membentang dari Jl. Rajamoili hingga Jl. Cut Mutia Kota Palu sangat mudah karena pantai terindah ini terletak di pusat Kota Palu. Dari Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie Palu hanya berjarak 2 Km. Nah, tunggu apalagi? Ayo segera berkunjung dan nikmati keindahan wisata alam Pantai Talise!
Lokasi Pantai Talise
Lokasi Pantai Talise

Pantai Tanjung Karang, Donggala

Tidak kalah indah dengan Pantai Talise adalah Pantai Tanjung Karang. Mata pengunjung akan langsung dimanjakan oleh pasir putihnya, sekaligus memanjakan lidah dengan aneka kuliner, terutama makanan khasnya, Kaledo.
Pesona memikat Pantai Tanjung Karang selain keindahan pasir putihnya adalah adalah terumbu karang. saat berada di sana, Sobat akan langsung terpukau dengan pasir putih yang menghiasi bibir pantainya. Indah sekali!
Pantai Tanjung Karang menjadi pantai favorit bagi warga Palu dan sekitarnya. Di musim libur, wisatawan lokal hingga turis mancanegara yang rata-rata berasal dari Eropa memadati pantai ini.
Dengan tarif penginapan yang relatif murah, antara Rp. 100.000 sampai Rp. 300.000, wisatawan telah dapat beristirahat dengan nyaman. Kalau sobat ingin merasakan suasana yang berbeda, dapat juga menginap di rumah penduduk yang di sulap menjadi penginapan sederhana. Alami yang terbuat dari kayu dengan atap rumbia.
Pantai Tanjung Karang, Donggala
Pantai Tanjung Karang, Donggala
Lokasi Pantai Tanjung Karang
Lokasi Pantai Tanjung Karang
Pantai yang terkenal dengan karang warna-warni dan aneka ikan hias yang cantik ini juga akan memanjakan wisatawan dengan berbagai olahraga air yang mengasyikan sepertisnorkeling hingga lokasi diving terbaik. Sekali sobat menjejakkan kaki di panti ini pasti tidak akan pernah melupakan perjalanan ke Pantai Tanjung Karang.
—-

Cagar Alam Batu Gajah Simalungun, Sumatera Utara

Cagar Alam Batu Gajah merupakan salah satu cagar alam di Pulau Sumatera. Lokasinya terdapat di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Cagar alam ini dinamai ‘batu gajah’ lantaran di dalamnya terdapat dua buah batu yang dipahat menyerupai gajah. Batu berbentuk gajah (dan batu-batu lainnya) ini konon merupakan tempat beribadah bagi pemeluk agama Hindu di masa silam dan tetap dikeramatkan hingga sekarang.
Secara administratif, Cagar Alam Batu Gajah terletak di Dusun Pematang Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak jaman penjajahan Belanda dengan diterbitkannya Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April 1924. Penetapannya diperkuat dengan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 923/Kpts/Um/12/82, tertanggal 27 Desember 1982.
Luas kawasan perlindungan alam ini sekitar 0,80 ha. Dikelola oleh Balai KSDA Sumatera Utara II, wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat. Di sekitarnya terdapat area persawahan dan perkampungan penduduk.
Batu Gajah
Batu berbentuk gajah di Papan nama Cagar Alam Batu Gajah
Papan nama Cagar Alam Batu Gajah
Papan nama Cagar Alam Batu Gajah
Cagar Alam Batu Gajah Simalungun ini menyimpan berbagai kekayaan flora dan fauna. Berbagai jenis tumbuhan yang terdapat di cagar alam ini antara lain Tusam Sumatera (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese), Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.), Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.), berbagai jenis Bambu (Bambussa sp), berbagai jenis tumbuhan Paku, dan tetumbuhan lainnya.
Sedang berbagai fauna yang menghuni Cagar Alam Batu Gajah Simalungun antara lain berbagai jenis burung seperti, tekukur (Streptopelia chinensis), pergam (Ducula sp),kutilang (Pycnonotus aurigaster), berbagai jenis mamalia kecil seperti musang, kera, babi hutan (Sus scrofa Linnaeus) dan lain-lain.
Selain memiliki kekayaan aneka flora dan fauna, di dalam kawasan Cagar Alam Batu Gajah pun tersimpan berbagai batu pahatan berbentuk khas. Dua buah batu gajah, batu katak, batu ulok (ular), batu lesung, dan batu karang. Batu-batu ini dulunya diduga menjadi tempat peribadatan pemeluk agama Hindu.
Cagar Alam atau Nature Sanctuary adalah salah satu kawasan suaka alam di samping Suaka Margasatwa. Cagar Alam memiliki keadaan alam yang khas dan unik baik tumbuhan, satwa, maupun ekosistemnya. Kawasan tersebut perlu dilindungi dan dijaga agar perkembangannya berlangsung secara alami tanpa campur tangan manusia. Pun demikian dengan Cagar Alam Batu Gajah yang terdapat di Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.